Aku tersentak bangun ketika HP ku berbunyi, sekilas kulirik jam dindingku masih menunjukkan pukul 6:00 pagi.
“Ahh..
siapa sih yang iseng banget, nelpon pagi-pagi begini”, rutukku sambil
kuraih HP-ku yg tergeletak di meja samping tempat tidurku.
Kulihat dilayar nomor adikku.
“Ya.. hallo..” sahutku singkat
“Halo
Kakak Santy.. gimana khabarmu kak, Kak kapan mau pulang ke kampung kami
sudah kangen nih..”, terdengar suara adikku diujung sana.
“Ahh.. pasti kamu butuh duit lagi..”, bisik hatiku.
Aku
sangat tahu kalau adikku sudah menelponku begitu pasti itu tandanya dia
butuh uang untuk biaya kuliahnya, aku tak menjawab pertanyaan adikku
kubiarkan saja dulu dia bicara.
“Gimana
Kak Santy.. halo.. halo..” suaranya agak sedikit keras, mungkin
dikiranya aku tidak mendengarkan omongannya, padahal aku sangat jelas
mendengarnya.
“Iya aku masih disini”, jawabku singkat.
“Nantilah ratri, Kakak saat ini sedang tidak enak badan..”, pintaku padanya.
Beberapa detik tidak ada jawaban darinya.
“OK deh..”, suara adikku terdengar kecewa oleh keputusanku, lalu kumatikan HP-ku.
Sebenarnya
badanku sedang tidak apa-apa, aku sehat-sehat saja, cuma saat ini aku
lagi ingin sendiri dulu, aku tak mau ada gangguan sedikitpun, kuambil
kursi duduk lalu kubuka jendela, kupandang hiruk-pikuknya kota Jakarta
dipagi hari, kupandangi juga ratusan orang hilir-mudik dengan segala
kesibukkannya masing-masing, lalu mataku tertuju kepada beberapa anak
SMA yang sedang berdiri di halte menunggu bus yang menuju kearah sekolah
mereka, lalu aku terbayang kepada kehidupan pribadiku lima tahun silam,
aku masih seperti mereka polos dan begitu naf, tapi kini kehidupanku
sangat jauh berbeda dari yang dulu, kini aku merasa tidak lugu dan polos
lagi, aku tinggal disuatu apartemen, disinilah aku ditempatkan oleh
orang yang sangat kucintai tapi tak bisa kumiliki, kata kasarnya aku
menjadi simpanan disamping kegiatanku bekerja.
Ceritaku
ini mungkin terkesan binal bagi pembaca semua tapi itulah adanya, kalau
aku mengurangi kadar ceritanya maka nilai sensualitas yang terkandung
dalam ceritaku akan terasa hambar, terserah pembaca saja menanggapinya.
Sebenarnya statusku ini adalah suatu status yang sangat aku benci, tapi
apa boleh buat nasib berkata lain, dengan status seperti inilah aku bisa
membantu biaya sekolah kedua adik perempuanku di kampung dan membantu
ekonomi keluargaku, memang pada mulanya tidak terbersit sedikitpun
keinginan untuk menjadi begini, semua ini berawal dari sulitnya
kehidupan ekonomi kami sepeninggal ayahku, yang meninggal dunia karena
kecelakaan, untuk mengetahui lebih lanjut tentang diriku dan kehidupanku
seutuhnya ada baikknya aku ceritakan saja dari awal, dari Santy yang
polos dan lugu sampai menjadi Santy yang sedikit modern.
Sepeninggal
ayahku, kehidupan kami begitu morat marit, tidak ada saudara yang mau
membantu kami, ibuku dengan tiga anak perempuannya yang masih
kecil-kecil harus berjuang sendiri mencari biaya hidup, tidak ada
terbersit keinginan di hati ibu untuk kawin lagi, karena cintanya kepada
ayah sangat mendalam dan suci, saya sangat bangga kepada ibu saya,
untuk menyambung hidup dan sekolah kami ibuku menjadi PRT di rumah Bapak
Winata, seorang juragan kayu, di kampung kami. Dia kaya raya tapi dia
dan keluarga sangat baik dan murah hati kepada kami, karena saking
dekatnya kehidupan antara kami dengan dia, aku dan kedua adikku
diperlakukan seperti anaknya sendiri, aku selalu bermain bersama Mas
Ferico anak semata wayang Bapak Winata.
Mas
Ferico begitu baik denganku, sampai-sampai kalau jalan-jalan baik dalam
ataupun keluar kota aku selalu diajak serta, Mas Ferico tidak mau pergi
kalau saya tidak ikut. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan
bulan berganti tahun, aku dan juga Mas Ferico tumbuh menjadi seorang
remaja dewasa, Mas Ferico 7 tahun lebih tua dari saya, setelah dia
menyelesaikan kuliahnya dia diterima diperusahaan minyak asing di
Jakarta, karena dia anak semata wayang dikeluarganya dan orang yang
paling dipercaya bisa menjaga hidup dan kehidupan Mas Ferico adalah ibu
saya, maka mau tidak mau ibu saya harus ikut pindah ke Jakarta menemani
Mas Ferico, untuk mengurus segala keperluannya. Aku dan kedua adikku
tetap tinggal dirumah peninggalan ayahku yang sangat kecil dan sempit.
Ibuku
selalu mengirim uang buat keperluan kami setiap bulan, uang kiriman
yang pada mulanya cukup buat kami bertiga, kini kami rasakan tidak cukup
lagi, aku dan satu adikku sudah duduk dibangku SMA sedangkan satu lagi
adikku masih duduk dibangku SMP, makin hari dorongan untuk mencari
tambahan biaya hidup dan membantu ekonomi keluarga makin menderaku,
desakan itu semakin hari tak tertahankan, setelah tamat sekolah
kuputuskan saja menyusul ibu ke Jakarta sambil mencari kerja disana,
biarlah aku tidak melanjutkan ke bangku kuliah asal adik-adikku tetap
sekolah, memang mencari kerja di Jakarta hanya bermodalkan ijazah SMA
rasanya mustahil, tapi aku bertekad, prinsipku kita hanya mampu berusaha
dan berdoa, dan Tuhanlah yang menentukan jadi jangan menyerah sebelum
bertanding.
“Tok.. tok.. tok..”.
Pintu
sebuah rumah mewah di kumpulan rumah-rumah mewah di Jakarta aku ketuk,
aku berharap yang membuka pintu adalah ibuku, aku siap-siap akan
mengejutkan ibuku, beberapa menit kemudian pintu pelan-pelan terbuka
dari balik pintu muncul sosok seorang gagah, tampan sekali berbadan
tinggi besar kira-kira 185 cm berat 90 kg, dengan alis tebal dan mata
elangnya menatapku tajam lalu dia tersenyum padaku. Akupun tersenyum
padanya.
“Santy.. ada apa gerangan, ayo masuk san..”, sambutnya hangat.
“Kamu makin cantik saja Santy”, pujinya untukku.
Aku
masih terpana oleh wajahnya yang sangat tampan, tampan sekali. Bekas
cukuran bulu-bulu pada wajah putihnya meninggalkan warna hijau kebiruan,
sungguh kontras sekali.
“Heyy.. Santy.. ayo masuk..”, ucapannya kali ini, membuyarkan lamunanku.
Aku kikuk dan malu sendiri, “Oohh.. ehh.. ya.. terima kasih”, sahutku gugup.
Ibuku
senang sekali melihatku, tapi dia juga sedih setelah mendengar keluhan
dan keputusanku untuk meninggalkan kedua adikku untuk mencari kerja di
Jakarta, setelah kujelaskan panjang lebar akhirnya ibuku mau juga
mengerti. Sudah satu minggu aku dirumah mewah milik Mas Ferico, namun
aku belum juga mendapatkan apa yang kucari, Mas Ferico menyarankan agar
aku kuliah saja di Jakarta sembari membantu ibu, mengenai uang kuliah
dia yang akan menanggungnya, karena sudah terlalu banyak budi jasanya
kepada keluarga kami, maka secara halus tawaran yang dia berikan padaku
aku tolak, mungkin banyak yang mengira keputusanku ini bodoh, tapi
itulah adanya, aku tak mau terbelit hutang budi lebih banyak lagi kepada
Mas Ferico dan keluarganya.
Pada
hari kesepuluh aku berada disana, kejadian itu terjadi, kejadian yang
tak pernah kubayangkan sebelumnya, dimana keperawananku direnggut oleh
orang yang sangat kucintai tapi tak bisa kumiliki, ceritanya begini.
Pada malam minggu di televisi sedang menayangkan siaran langsung bola
kaki, dimana yang tampil adalah tim-tim favorit Mas Ferico, aku
sebenarnya mau juga ikut nonton tapi aku malas disamping itu aku tidak
begitu suka bola kaki, jadi kuputuskan saja untuk tetap berada didalam
kamarku sambil mendengar siaran radio kesayanganku, Elshinta.
“San.. tolong ambilin HP saya dong”, pinta Mas Ferico dengan suara yang keras dan berat.
“Baik Mas..”, jawabku singkat.
Lalu
aku masuk kedalam kamar tidurnya, aku ambil HP-nya yang berbunyi, lalu
aku ke ruang depan tempat dimana dia sedang nonton TV.
“Nih Mas HP nya..”, kataku.
Disaat tanganku menyodorkan HPnya, tangan Mas Ferico menarik tanganku, aku kaget sekali.
“Sudah kamu duduk sinilah ngapain juga dikamar terus”, sambil menarikku agar duduk disampingnya.
Aku
sebenarnya mau bangkit lagi tapi tangannya yang besar dan kuat menahan
bahuku tanda aku tidak boleh berdiri, aku turuti saja. Lalu dia menerima
telpon dari temannya, tidak berapa lama HP nya dia tutup.
Sambil
menonton siaran TV, satu tangan Mas Ferico tidak lepas dalam posisi
memelukku, aku sebenarnya risih, walaupun dia sudah kuanggap abangku
sendiri, kalau dulu beberapa tahun lalu sewaktu kami masih kecil segala
pelukan, ciuman dan dekapan Mas Ferico tidak ada artinya bagiku, karena
yang dia lakukan terhadapku kuanggap sebagai bentuk kasih sayang dari
seorang Kakak kepada adiknya, tapi saat ini lain ceritanya, tangannya
menyentuh sedikit saja ujung kulitku, maka hangatnya akan terasa
menyebar keseluruh pembuluh darahku, entah apa ini namanya. Malam
semakin merangkak dan siaran di televisi semakin seru, kulirik Mas
Ferico yang kelihatan gelisah sekali, entah apa yang sedang dia fikirkan
malam ini.
Selama menonton siaran bola, tangan Mas Ferico terus memelukku.
“Santy.. kau sayang sama aku kan, kau mau membahagiakan aku.. kan”, bisik Mas Ferico lembut di telingaku.
“Apa maksudnya Mas..?” kataku tidak mengerti.
“Kamu tidak perlu bertanya, kamu cukup menjawab ya atau tidak, itu saja..”.
Karena
kupikir selama ini Mas Ferico sudah begitu baik terhadap aku dan
keluarga kami, lagipula benih cinta terlarang pada Mas Ferico telah
tumbuh dihatiku maka dengan spontan aku menganggukan kepala sebagai
wakil dari mulutku untuk mengatakan jawaban “Ya”.
Tanpa menunggu lebih lama, bibir Mas Ferico yang keras dihiasi bulu-bulu yang baru dicukur, melumat bibirku.
“Santy.. sudah lama aku menantikan hal yang demikian”, bisiknya lembut ditelingaku.
Kecupan
lembut dari bibirnya telah membangkitkan sesuatu rasa yang selama ini
belum pernah aku rasakan, entah keberanian darimana aku mulai berani
membalas lumatan bibirnya, memang kuakui dimataku selama ini Mas Ferico
begitu sempurna, tapi aku malu untuk mengatakannya. Tangan Mas Ferico
mulai meremas-remas bagian dadaku.
“Kita ke kamar sayang”, bisik Mas Ferico lembut.
Bagai
kerbau dicocok hidungnya dan bagai orang terhipnotis aku mengikuti
segalanya permintaannya, sesampainya dikamar aku duduk ditepi ranjang
sambil menunduk malu, kulirik Mas Ferico memutar lagu-lagu bernada
romantis dari radio-tape nya.
Entah
kapan dia mendekatiku tiba-tiba “Santy..”, tegurannya membuatku kaget
dan lebih kaget lagi ketika kulihat dia sudah berdiri dihadapanku.
Dadanya berbulu lebat dari dada sampai perut begitu kekar berbentuk
bidang-bidang seperti pahatan pada batu, aku gemetar ketakutan ketika
melihat benda sebesar lenganku yang berwarna merah keunguan berdiri
kencang dihadapanku, jalaran urat besar-besar mengukir indah di penisnya
bagaikan akar pohon beringin.
“Mas aku takut Mas..”, kataku lirih masih dalam posisi menunduk dan menutup muka.
“Kenapa takut sayang.. kan kita belum mencobanya”, rayu Mas Ferico.
Belum sempat aku mengucapkan kata-kata, benda besar dan panjang itu ia tancapkan dimulutku.
“Heppmm..”, mulutku yang kecil terisi penuh oleh benda pusakanya, hingga membuatku sesak nafas.
“Ahh..
ehkggh.. enak sekali sayang.. ehkkgg.. ohh.. ouuhk.. heeggkk..”,
kata-kata tak jelas arti meluncur deras dari mulut Mas Ferico.
Entah
kapan aku atau Mas Ferico yang membuka bajuku, begitu kusadari tubuhku
kini telah bugil tanpa sehelai benangpun yang menutupi tubuhku, kini
kami sudah dalam keadaan berbugil ria, di baringkannya tubuhku, lalu
ditindihnya, tubuhnya yang besar sangat terasa berat, membuat nafasku
sesak untuk kedua kalinya, dengan buasnya Mas Ferico menghisap ujung
puting bagian dadaku, aku tersentak-sentak menahan geli, lalu kepalanya
turun kebawah kebagian selangkanganku, dia mulai menjilat-jilat bagian
yang selama ini aku sembunyikan, dia menjilati bahkan menghisapnya
kuat-kuat.
“Aghhkkhh..”, lenguhku.
Sejurus
kemudian diangkatnya bokongku keatas, aku yang dalam posisi
tertelentang hanya bisa pasrah saja mau diapakan kemaluanku olehnya,
lidahnya yang panjang dan kasar merangsak lambat memasuki bagian dalam
kemaluanku, urat-urat kenikmatan yang berada di bibir luar dan dalam
kemaluanku tak satupun yang luput dari jilatan lidahnya. Ahh.. rasanya
aku terbang melayang..
Ahh
Mas Ferico ini pasti sudah pengalaman, bisik hatiku, buktinya dia
begitu mahir mengolah lahan tandus menjadi lahan yang hangat dan berair.
“Ahkgg..
sakit sekali Mas.. aduhh”, rintihku ketika ada sesuatu benda sebesar
kepalan tanganku mendorong paksa ingin masuk ke kemaluanku.
Aku
yakin sekali benda yang mendorong-dorong itu adalah kepala penisnya Mas
Ferico, rudal yang panjangnya kira-kira 20 cm lebih dan besar itu mulai
menancap lurus, rasanya aku mau pingsan saja karena tak kuat menahan
sakit, pedih dan perih pada bagian kemaluanku yang diakibatkan oleh
dorongan benda yang pada awalnya lunak dan jinak kini menjadi keras dan
garang.
“Tahan dikit San.. tahan.. nanti juga akan enak kok”, bisiknya.
“Auuwww..
Sudah Mas.. sudah.. aduhh aku tak kuat Mas, sakitt..”, jeritku, sembari
menggigit bibirku sendiri dan mencakar-cakar punggungnya.
Namun
Mas Ferico sepertinya tidak perduli, dia tetap mendorong sedikit demi
sedikit bokongnya agar jalan masuk kearah surga bagi penis besarnya tak
terhalangkan.
“Ahh.. uhh.. ehhk..” lenguhan Mas Ferico kian memburu seiring dengan goyangan bokongnya.
Aku
begitu tersiksa malam itu, sakit yang tak pernah kurasakan sebelumnya
kini kualami, tapi memang benar kata Mas Ferico bahwa nanti juga akan
enak, kini terbukti juga, lambat namun pasti, rasa pedih dan perih yang
tadi menderaku kini mulai tergantikan oleh sosok kenikmatan yang tiada
tara.
Lebih
kurang 20 menit berlalu tapi serangan Mas Ferico semakin gencar saja,
sodokan demi sodokan terasa sekali menyentuh syaraf-syaraf kenikmatan
yang ada dalam kemaluanku, hingga aku menjerit ketika suatu titik nikmat
dalam kemaluanku tersentuh oleh big penisnya berulang-ulang, mungkin
itulah yang dinamakan titik g-spot.
“Auuhh..
asshh..”, lenguhku berbarengan dengan gerakan tubuhku yang tak
beraturan ketika cairan hangatku menyemprot membasahi penis Mas Ferico.
Kulihat
Mas Ferico hanya tersenyum, kupukul-pukul dadanya, tanda aku tak dapat
menguasai diriku sendiri karena telah terbang terbawa kenikmatan sejati,
lalu aku ditariknya agar aku duduk dipangkuannya, kini posisi kami
duduk berhadapan dengan kondisi penisnya masih menancap tajam ke
kemaluanku, kali ini aku benar-benar merasa ingin muntah, dorongan dan
desakan yang ditimbulkan penisnya membuat isi perutku terasa terdorong
keatas, aku tak berani mengambil resiko, jadi kuputuskan saja untuk
tetap tenang dan tidak mengadakan gerakan sedikitpun, karena kalau aku
bergerak sedikit saja maka sodokan penisnya akan terasa lebih mendorong
isi perutku keatas, melihat keadaanku seperti sekarang Mas Ferico merasa
kasihan juga, lalu dia mengubah style kembali.
Ternyata
style kali ini adalah suatu bentuk posisi hubungan intim yang sangat
nikmat, lebih terasa nikmat dari yang awal, kali ini benar-benar
penisnya masih terasa padat di kemaluanku padahal aku sudah mencapai
klimaks lebih dulu.
“Ahh.. eesshh.. terus san.. teruss..”, perintahnya agar aku tetap menggoyang bokongku.
15
menit berlalu dan untuk kedua kalinya cairan hangatku muncrat dari
asalnya, ahh.. nikmat sekali, dan kulihat kebelakang ternyata tubuh Mas
Ferico pun sudah mulai mengejang. Gerakannyapun sudah tidak beraturan
lagi, lalu dia mengejang.
“Ahhkk.. eeshhss..”.
Terasa
lava hangatnya mulai menyembur memenuhi kemaluanku, aku langsung
terjerembab dikasur karena persendianku yang sedari tadi kupergunakan
untuk menahan berat tubuhku sudah tak mampu lagi menahan berat badanku
sendiri, begitu juga Mas Ferico. Kubiarkan saja lava hangatnya mulai
mengalir keluar dari kemaluanku. Dan kamipun tertidur.
Pagi-pagi sekali aku terbangun kulihat ada noda merah pada sprei Mas Ferico.
“Ahh.. kau telah mengambilnya Mas..”, bisik hatiku sedih.
Seluruh
tubuhku sakit semua yang teramat sakit adalah disuatu bagian dimana
sesuatu telah terjadi long injektion semalam, aku tertatih berangkat
dari kasur, dengan sekuat tenaga kuusahakan bangun, kupandangi wajah
tampannya sekali lagi sebelum aku keluar dari kamarnya, aku pindah ke
kamarku sendiri. Karena aku takut hubungan terlarang semalam akan
ketahuan ibuku, aku terbangun saat mendengar derungan mobil Mas Ferico
Disaat Mas Ferico akan berangkat kerja, aku hanya mengintip dari balik
jendela kamarku.
Sejak
kejadian itu, maka tidak ada keraguan lagi dihati kami untuk
melakukannya terus dan berulang-ulang, entah kenapa gairahku terhadapnya
begitu besar, akupun sampai tak sanggup untuk mengusirnya, gairah ini
begitu menyiksaku dari hari kehari. Sampai akhirnya Mas Ferico
menyampaikan sebuah khabar bahwa dia akan menikah dengan gadis lain, aku
tidak bisa sedih apalagi untuk menangis, aku sadar siapa diriku dan
siapa dirinya, aku hanya berharap Mas Ferico mau mencintaiku terus apa
adanya seperti aku mencintainya sepenuh jiwaku, untunglah Mas Ferico
bukan kacang lupa akan kulitnya terhadapku, walau aku tidak menjadi
istrinya namun aku tetap mendapatkan segala apa yang istrinya dapatkan
dari dia, kecuali surat Nikah.